Enter your keyword

Pesantren; Manifestasi Khazanah Keilmuan Islam

Beautifully suited for all your web-based needs

Pesantren; Manifestasi Khazanah Keilmuan Islam

Pesantren; Manifestasi Khazanah Keilmuan Islam

Perbincangan pesantren semakin dinamis dan terstruktur. Banyak akademisi yang menghabiskan waktu untuk menelaah lebih dalam apa yang ada dalam pesantren secara  universal. Mereka menghabiskan waktu untuk melihat secara dekat aktifitas santri dan pesantren yang bermetamorfosis sebagai wahana pengembangan masyarakat (community development).

Tidak heran jika dengan orientasi tersebut, pondok pesantren telah mampu menunjukkan partisipasi aktifnya bersama-sama pemerintah dalam mensukseskan program-program pembangunan lebih-lebih dalam hal kehidupan beragama dan mencerdaskan kehidupan bengsa. Dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia, nama-nama tokoh pesantren semisal KH Hasyim as’ariy, KH wahab Hasbullah, KH bisri syamsuri, KH syaifudin zuhri dan KH wahid Hasyim tercatat sebagai tokoh-tokoh yang memberi sumbangan luar biasa bagi bangsa Indonesia. Kontribusi positif-konstruktif pesantren ini dilengkapi dengan tampilnya KH abdurrahman wahid sebagai presiden RI ke 4. Peran kesejarahan ini dengan sendirinya menempatkan pesantren dalam lembaran dokumentasi berharga bangsa. Pergulatan literatur dan dinamika sosial secara dialektik membuat mereka mempunyai kesadaran dan concern untuk ikut mengawal proses perjalanan bangsa sesuai dengan cita-cita agama dan masyarakat secara universal. (Saiful Huda,dkk.2003;04)

Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu atau barangkali berasal dari kata Arab Fundug yang berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Profesor john berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah Shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata Shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Zamakhsari Dhofier.1984;16)

Klasifikasi Pesantren

Untuk lebih mempperjelas pembahasan pesantren, penulis mengklasifikasikan pesantren menjadi 3 bentul. Diantaranya: Pertama, Pesantren salaf an sich. Seperti pesantren al anwar sarang Rembang, Pacul Gowang Jombang dan Lirboyo-ploso kediri. Pesantren model ini mempunyai beberapa karakteristik diantaranya pengajian hanya terbatas pada kitab kuning, intensifikasi musyawarah atau bahsul masa’il. Berlakunya sistem diniyah, pakaian, tempat dan lingkungan mencerminkan masa lalu. Kedua, pesantren modern an sich. Seperti pesantren Modern darussalam Gontor Ponnorogo, Zaitun Solo, Darun Najah dan Darur Rahman Jakarta. Karakteristik pesantren model ini adalah penekanan pada penguasaan bahasa asing (arab dan inggris), tidak ada pengajian kitab kuning, kurikulumnya mengadopsi kurikulum modern, lenturnya term-term tawadlu’, kuwalat dan barakah, penekanan pada rasionalitas, orientasi masa depan, persaingan hidup dan penguasaan teknologi. Ketiga, pesantren salaf semi modern. Seperti pesantren tebuireng dan Mathaliul Falah Kajen. Karakteristik Pesantren model ini adalah pengajian kitab salah seperti taqrib, jurumiyyah, ta’limul muta’alim, terdapat kurikulum modern seperti bahasa inggris, fisika, matematika dan manajeme, mempunyai independensi dalam menentukan arah dan kebijakan, terdapat ruang kreatifitas yang terbuka lebar untuk para santri seperti oganisasi, membuat buletin, majalah, mengadakan seminar, diskusi dan bedah buku (Saiful Huda,dkk.2003;10).

Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan “Kiai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kiai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapatt mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada kebanyakan pesantren, dahulu seluruh komplek merupaka milik kiai tetapi sekarang kebanyakan pesantren tidak semata-mata milik kiai saja melainkan masyarakat secara luas. Hal ini disebabkan karena kiai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk mengongkosi pembiayaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat. (Zamakhsari Dhofier.1984;45)

Di samping itu, pilihan yang cukup rasional pada masa sekarang ini adalah menempatkan pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan yang berorientasi global. Selama ini, Persepsi atas globalisasi sebagai bagian dari dampak modernisasi memang selalu dikaikan dan mengacu pada transformasi institusional yang berasal dari Barat. Persepsi ini tidak seluruhnya benar sebab dalam dunia pesantren, isu modernitas tidak bisa lepas dari semangat untuk selalu berkreasi dan berinovsi. Paradigmanya adalah al Muhafazhatu ‘Ala Qadim ash Shalih wal Akhdu bil Jadid al Ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Maka, pesantren harus melihat bahwa realitas dunia yang semakin modern dan mengglobal itu merupakan gejala alami. (Said Aqil Siratd; 2006;200)

Dalam pengertian lebih jauh lagi, pesantren tidak melulu memperbincangkan fenomena sosial masyarakat  sekitar belaka. Melainkan, pesantren dengan nuansa kulturalnya yang sangat kental menjadi ruang untuk transformasi pengetahun secara berjamaah satu dengan lainnya. Pastinya, tradisi keilmuan dalam pesantren sangat kuat bahkan tidak jarang diadakan setiap satu bulan sekali atau tiga bulan guna membahas masalah kehidupan dan kenegaraan sekalipun. Dalam pesantren, tradisi dialektika keilmuan dikenal dengan, Bahstul Masa’il Ad Diniyyah.

Memang, dalam lembaga pendidikan modern –yang disimbolkan dengan eksistensi perguruan tinggi dan sekolahan- tidak sedikit mahasiswa yang jebolan pesantren meramaikan konstelasi perkuliahan bahkan mengambil posisi mayoritas. Tentu saja, ketika sebuah posisi mayoritas khususnya kampus Islam seperti Institut Agama islam Negeri (IAIN) maupun Universitas Islam Negeri (UIN) menjadi hal biasa ketika membicarakan ide-ide kepesantrenan. Tidak jarang dari mahasiswa jebolan pesantren bertahun-tahun lamanya menunjukkan identitasnya, misalnya eksisnya acara tahlilan, istighosahan, maulid Nabi, pembacaan Barjanji, Pembacaan Burdah, tasyakuran.

Lebih jauh lagi, pesantren dengan lembaga pendidikan formal seperti kampus, sekolah dan lembaga belajar lainnya mempunyai corak tersendiri. Dan memang seperti itu egaliteristik dari setiap lembaga pembelajaran. Seperti yang kita fahami bersama bahwa pendidikan mencakup dua hal, pendidikan formal mencapai kurang lebih 30% dan pendidikan Informal mencapai kurang lebih 70%. Ihwal demikian jarang difahami oleh mayoritas mahasiswa era sekarang.

Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri-cirinya sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lain. Namun, bagaimanapun juga memang terdapat perbedaan yang seringkali dijadikan dasar antara manifestasi keilmuan di pesantren dan manifestasi keilmuan di lembaga pendidikan lainnya di seluruh dunia Islam. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam walaupun pesantren juga mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan sarana informasi, komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, tempat pemupukan solidaritas masyarakat karena watak utamanya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sendirinya memiliki tradisi keilmuan sendiri. Namun, tradis ini mengalami progresifitas dari masa ke masa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walaupun demikian, masih dapat ditelusuri beberapa hal inti yang tetap merupakan tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke Indonesia sampai saat ini. kesemuanya itu menunjukan ke sebuah asal usul yang bersifat historis yang menjadi pendorong utama bagi berkembangnya pesantren itu sendiri (Abdurrahman Wahid.2009;120).

Oleh karenanya, tidak mengeherankan jika Output kelulusan Mindset serta pola pikirnya hanya berorientasi pada kerja kerja dan kerja bukan mencari ilmu. Padahal, menurut hemat penulis, kelulusan seseorang tidak menjadi indikasi bahwa dia sudah benar-benar Expert dalam bidang ini dan itu, tetapi jauh ke depannya. Yaitu mencari ilmu lebih penting tanpa mengenal waktu. Kerja itu hak seseorang tetapi jangan dijadikan standar bahwa mahasiswa yang sudah lulus siap untuk terjun ke dunia kerja. Bukan kah demikian sudah diajarkan pada Sekolah Tsanawiyah dulu bukan ?

Pesantren sebagai lembaga informal menawarkan berbagai kesederhanaan dalam melangkah maupun berfikir. Di kampus Universitas islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang misalnya, banyak pondok-pondok yang menyediakan ruang untuk ditempati seorang mahasiswa mahasiswi. Tentunya, dengan tetap menjaga rutinitas sebagai pondok pesantren. Pengajian, menjadi nilai yang tidak bisa ditawar lagi di dalam pesantren. Seorang kiai menyampaikan sedikit ulasan kitab kkuning dan para santri –dalam hal ini mahasiswa- diam mendengarkan dan tidak jarang dibuka sesi tanya jawab oleh sang kiai.

Deskripsi pesantren memang jarang sekali di tulis dalam perspektif akademisi, apalagi menjadi Suguhan materi perkuliahan. Ahmad Baso, zamakhsari Dhofier, KH Abdurrahman wahid adalah sederet nama yang expert membicarakan dunia pesantren. Lebih jauh lagi, pesantren sebagai Center Of Religion Science haruslah difahami dengan apik, baik dan holistik. Wallahu a’lam

Penulis : Ustd. Eko David, S.S., M.Pd
Wakil Ketua Kepesantrenan PP. Nurul Ummah, MBI Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto